Minggu, 08 Maret 2009
Menyoal Fatwa Rokok MUI
Reaksi pro-kontra terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tersebut terus bermunculan. Dalam alam demokrasi Indonesia seperti saat ini, pro-kontra terhadap suatu permasalahan yang menyeruak di ruang publik merupakan suatu hal yang lumrah. Demokrasi memang memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk dapat berekspresi secara bertanggungjawab dan dalam batas-batas tertentu. Tentu saja sikap penolakan terhadap fatwa MUI tersebut dapat dimaklumi. Hanya saja, -menurut hemat penulis- reaksi kontra terhadap fatwa terbaru dari MUI tersebut banyak yang berangkat dari asumsi-asumsi yang kurang tepat dan dari sudut pandang parsial.
Rokok Ditinjau dari Aspek Kesehatan
Jujur harus diakui bahwa rokok memang merupakan masalah baru yang belum pernah ada di zaman Nabi. Sehingga wajar jika timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilaf) mengenai status hukum barang hisap tersebut. Sebagian ulama berpendapat haram, sebagian lagi makruh bahkan ada yang menghukuminya dengan mubah.
Namun seiring dengan kemajuan sains, para ahli kesehatan sepakat bahwa merokok sangat merugikan kesehatan. Bahaya rokok dari sisi kesehatan sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO tetapi lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 racun kimia berbahaya, 43 bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker) di antaranya hidrogen-sianida, aceton, amonia (pembersih lantai), methanol (bahan bakar roket), butane (pembuat korek api), cadmium (bahan dasar aki mobil). Selain itu disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006) membuktikan perilaku merokok berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS.
Celakanya lagi, dampak negatif dari rokok tidak hanya akan menimpa perokok aktif. Perokok pasif -yakni orang yang bukan perokok tapi menghirup kepulan asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif – juga akan ikut memikul resiko yang sama besarnya dengan resiko yang dialami oleh perokok aktif. Bahkan ada sebuah riset di Indonesia yang menunjukkan bahwa secara kuantitas, penderita penyakit akibat rokok pada perokok pasif lebih besar jumlahnya daripada perokok aktif. Dari sini saja sudah jelas terjadi ketidakadilan dan kedzaliman yang dilakukan oleh para perokok (aktif). Selain itu, hal tersebut juga ditunjang dengan rendahnya budaya malu dan menghargai kepentingan orang lain di tempat umum pada bangsa kita.
Rokok Ditinjau dari Aspek Ekonomi
Salah satu alasan yang sering dikemukakan pihak yang kontra terhadap fatwa MUI tersebut adalah bahwa sekalipun rokok merusak kesehatan, akan tetapi industri rokok telah menunjang perekonomian Indonesia. Sehingga –menurut mereka yang menolak fatwa haram rokok- fatwa MUI tersebut sangat mengancam perekonomian Indonesia. Sebagai contoh adalah di tahun 2004 saja cukai rokok sudah mencapai 27 triliun. Angka ini menyumbang 98% penerimaan cukai negara. Belum lagi jumlah tenaga kerja yang diserap serta jumlah keseluruhan arus perputaran uang yang melingkupi industri rokok.
Akan tetapi, menghitung aspek kemaslahatan rokok hanya dari segi keuntungan ekonomis langsung yang dihasilkan oleh industri rokok, sangat tidak proporsional. Sebagaimana dikemukakan diatas, merokok sangat merugikan kesehatan. Untuk itu perlu juga dihitung biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk Indonesia untuk mengobati penyakit akibat rokok. Tentu saja biaya untuk berobat tersebut jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomis langsung. Hal ini karena dampak kesehatan dari merokok tersebut berlangsung dalam jangka panjang. Selain itu menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada tahun 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year’s (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar US$ 900, total biaya yang hilang US$ 4.870.713.600!
Sergapan asap rokok terhadap pelajar kini makin merisaukan, setidaknya menurut Global Youth Tobacco Survey 2006 versi WHO, 37,3 persen pelajar laki-laki dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5 persen pelajar laki-laki bahkan telah menjadi pecandu rokok.
Urgensi Fatwa MUI
Melarang semua orang untuk tidak merokok sepertinya memang hal yang sulit. Dan MUI sudah dengan sangat bijak mempertimbangkan dampak-dampak yang akan timbul dari fatwa tentang rokok. Sejatinya, usulan agar MUI mengeluarkan fatwa haramnya merokok datang dari pihak-pihak yang selama ini sangat peduli akan bahaya merokok. Salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), melalui ketuanya, Kak Seto yang khawatir terhadap dampak merokok terhadap anak-anak. Untuk itulah –sekali lagi yang perlu diingat semua pihak bahwa- fatwa haram rokok tersebut hanya berlaku untuk anak-anak, remaja, dan perempuan hamil serta merokok di tempat umum dan pengurus MUI sendiri. Ibu hamil diharamkan merokok karena jelas akan mendzalimi anak yang ada dalam janinnya kelak.
Selain kelompok yang diharamkan tersebut, maka hukumnya –menurut fatwa MUI- adalah makruh, bukan halal. Sebagian kalangan ada yang mengkritik MUI dangan beberapa pertanyaan seperti : “Mengapa hanya rokok, yang diberi fatwa? Mengapa MUI tidak mengeluarkan fatwa tentang korupsi misalnya, yang sudah merusak bangsa ini? Selain itu, bukankah makan nasi, kalau berlebihan sehingga membahayakan kesehatan, hukumnya juga haram?” Alasannya sederhana saja. Segala sesuatu yang halal namun dilakukan dengan berlebihan lalu membahayakan diri sendiri maka otomatis hal tersebut hukumnya menjadi haram dan umat sudah paham hal tersebut sehingga tidak membutuhkan fatwa. Sedangkan rokok merupakan masalah baru yang belum ada hukumnya sehingga perlu MUI memberi fatwa sebagai pedoman umat Islam. Masalah-masalah seperti anggota DPR yang menerima uang sogokan atau membolos kerja, itu juga sudah jelas hukumnya dan tidak perlu fatwa lagi. Demikian, wallahu A’lam bish showab.*
Muh Faizin Adi P., Mahasiswa Fak Syariah Jurusan Muamalah IAIN Sunan Ampel Surabaya. KaDept Humas KAMMI Komsat SuPel
Minggu, 05 Oktober 2008
Ta'aruf ( Perkenalan )
Assalamualaikum Wr Wb
Cukup lama juga saya “menelantarkan” blog ini semenjak pertama kali membuatnya. “Kesibukan” yang dibuat-buat atau lebih tepatnya rasa malas dan tidak pendai mengatur waktu adalah faktor utamanya J. Dan pada bulan Ramadhan kemarin, secara kebetulan muncul inspirasi yang “memaksa” saya untuk menulis dan mempostingnya ke blog. Sebenarnya saya berencana untuk mengawali tulisan atau posting perdana dalam blog saya dengan perkenalan diri saya sendiri. Tapi tidak apalah. Melalui tulisan ini, saya bermaksud untuk memperkenalkan diri saya sendiri. Karena memang salah satu tujuan saya membuat blog adalah untuk sarana menambah teman dan jejaring di dunia maya.
Nama lengkap saya adalah : Muhammad Faizin Adi Permana. Sejak kecil biasa dipanggil “Adi” di lingkungan keluarga dan teman-taman masa kecil. Namun saat memasuki SMP, saya sering dipanggil dengan “Faizin” dan begitu seterusnya kebanyakan teman sekolah saya memanggil sampai saat ini saya kuliah. Dan saya juga mulai terbiasa dengan panggilan tersebut.
Saya lahir dan dibesarkan di Jember, kota di bagian selatan Provinsi Jawa Timur. Mulai sekolah di TK Al-Amien Jember (1992-1994), SDN Jember Lor III (1994-2000), SMPN 4 Jember (2000-2003) dan SMAN 1 Jember (2003 - 2006). Setelah lulus SMU, saya memutuskan untuk merantau ke kota pahlawan, Surabaya guna menuntut ilmu di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (IAIN Supel) Surabaya dengan mengambil jurusan Muamalah, Fakultas Syariah. Sebuah keputusan yang sebelumnya melalui proses pemikiran dan kebimbangan yang cukup panjang dan sangat mengubah hidup saya, setidaknya hingga dua tahun ini.
Memasuki tahun pertama kuliah, saya bergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII, sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus (omek) yang berbasiskan warga nahdhliyin atau NU. Beberapa bulan berada di organisasi tersebut, saya mengalami banyak ketidakcocokan sehingga pada tahun kedua kuliah saya memutuskan untuk keluar dari PMII dan bergabung di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Meski ada banyak tantangan yang mesti dihadapi, namun saya merasa bersyukur dengan keputusan untuk bergabung dengan KAMMI. Saya merasa di gerakan ini saya bisa mengenal Islam, sesuatu yang terus saya cari sejak SMU dan yang mendorong saya untuk kuliah di IAIN. Meski saya akui proses pencarian ini masih belumlah final dan masih sangat parsial.
Tantangan Belajar Agama
Salah satu hal yang membuat saya ragu ketika akan memutuskan kuliah di IAIN adalah latar belakang (background) pendidikan saya yang tidak pernah belajar di sekolah agama (madrasah) atau pesantren. Hal ini membuat saya memiliki bekal yang sangat minim dalam studi Islam terutama dari segi penguasaan bahasa Arab dan literatur Islam klasik. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, saya akhirnya bulatkan tekad untuk memilih studi agama. Sebuah pilihan yang tentu membawa banyak konsekuensi yang harus saya pertanggungjawabkan.
Untunglah pada tahun pertama kuliah di IAIN, aku menemukan sebuah lembaga pengajaran bahasa Arab yang dapat memberikan alternatif bagi orang-orang yang ingin belajar bahasa Arab namun dengan bekal yang minim. Lembaga tersebut adalah Ma’had Umar bin al Khattab. Akhirnya pada semester tiga, meski banyak aral melintang aku nekat untuk merangkap kuliah sore di Ma’had Umar bin al Khattab dengan pilihan studi Program Bahasa Arab dan Studi Islam. Di lembaga ini, saya banyak menemukan pegalaman dan nuansa baru yang berbeda dengan lingkungan saya di kampus IAIN SA dan juga lingkungan pergaulan saya saat SMU. Meski demikian, kadangkala rasa bosan dan jenuh seringkali menurunkan semangat belaar saya. Smoga Allah senantiasa membimbing dan memudahkan jalan saya.
Senin, 22 September 2008
Ramadhan dan Refleksi Kerukunan Beragama
Saat saya menuliskan risalah ini, bertepatan dengan hari ke 23 dalam bulan Ramadhan. Menyesal sekali tadi malam saya ketiduran sehingga rencana iktikaf jadi gatot alias gagal total. hiks...
Seperti biasa, bulan Ramadhan sebagai bulan suci menjadi bulan yang istimewa bagi sebagian besar ummat Islam di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Orang-orang berbondong-bondong pergi sholat berjamaah ke masjid, terutama pada saat waktu sholat maghrib dan isha'. Mereka bersemangat sekali dengan mengajak seluruh anggota keluarganya untuk sholat berjamaah khsusnya sholat terawih yang spesial hanya ada di bulan Romadhon. Meski sebenarnya tuntunan sholat berjamaah di masjid (atau musholla) sebenarnya sangat penting bagi kaum pria. dalam sebuah hadits disebutkan bahwa malaikat sempat berkeinginan untuk membakar rumah yang kaum prianya mengerjakan sholat fardhu (solat wajib 5 waktu) di rumah, tidak di masjid. Bahkan ada sebuah pendapat dalam salah satu diantara lima madzhab fiqh yang menyatakan tidak sah pria yang mengerjakan sholat tidak di masjid, tapi di rumah. Pada kenyataannya dapat kita lihat bahwa jarang sekali orang laki-laki yang sholat di masjid. Masjid hanya ramai di bulan Ramadhan saja. Tapi tidak apalah, setidaknya kaum muslim tidak melewatkan begitu saja kesempatan beribadah di bulan puasa ini.
Di Indonesia ada banayk tradisi dalam menyambut bulan Ramadhan. Salah satunay adalah tadarus (membaga al-Qur'an) di masjid atau mushalla yang banayk bertebaran hingga ke kampung-kampung. Sesuai perkembangan zaman, maka tadarus juga dilakukan dengan pengeras suara (speaker) yang lazim ada di setiap masjid atau mushalla. Jadilah pada malam hari dibulan Ramadhan, kita akan sering mendengarkan suara lantunan orang mengaji.
Di satu sisi, hal tersebut merupakan sesuatu yang baik. Tujuannya adalah syiar Islam, sehingga dipakai pengeras suara agar bagaan al-Qur'an terdengar di mana-mana. Namun tidakkah kita terpikir bahwa hal tersebut bisa menggangu hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan. terutama bagi orang non muslim yang mungkin mereka akan terganggu oleh bacaan kitab suci dari agama yang tidak dianutnya tersebut.
Tanpa mengurangi tingkat keimanan terhadap agama Islam yang saya yakini kebenarannya, saya rasa kita harus sadar bahwa umat Islam tidak hidup hanya dengan komunitas agamanya sendiri saja. Kita umat Islam, hidup berdampingan dengan umat agama lain yang meski di negeri ini mereka minoritas, tapi tatap harus dihargai. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, bahwa menghormati dan memuliakan tetangga adalah salah satu tolak ukur keIslaman seseorang. Tanpa membedakan agama orang tersebut. Piagam Madinah dan masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah juga dapat menjadi bukti sekaligus pedoman tantang bagaiman Islam sangat menjunjung toleransi dan penghormatan terhadap hak-hak individu.
Kalau kita mau bermuhasabah atau merenung sejenak, dengan jujur mungkin harus kita akui bahwa kita ummat Islam telah banyak "mendzolimi" umat agama lain. Sengaja saya pakai tanda petik ("_") karena iu bukan kata yang saya maksud sebenarnya. Begini, maksud saya. Coba kita pikirkan, di luar bulan ROmadhon saja, dalam setiap harinya setidaknya dikumandangkan panggilan sholat atau adzan. Dan itu tentu menggunakan pengeras suara. Tapi karena sudah terbiasa sehinbgga belum pernah kita dengar ada warga non muslim yang memprotes suara adzan.
Maksud saya dalam tulisan ini bukan untuk "mengusulkan" agar kumandang adzan tidak usah mengenakan pengeras suara. Karena hal tesebut adalah mustahil. Tapi maksud saya adalah mari kita hargai "pengorbanan" non-muslim tersebut dengan juga menghargai peribadatan mereka.
Di beberap daerah akhir-akhir ini kita sering mendengar aksi warga yang menutup paksa geraja dan atau melarang kegiatan peribadatannya. Alasan warga adalah bahwa gereja tersebut belum mendapat izin resmidari pihak berwenang. Warga muslim tersebut berlindung kepada SKB tiga Menteri, yang isinya mewajibkan izin warga setempat dalam pendirian rumah ibadah. Tapi aku memiliki pendapat berbeda. Menurutku, itu adalah bentuk kekhawatiran yang berlebihan dari umat Islam terhadap kaum kristen. Mereka khawatir jika gereja tersebut digunakan untuk pusat peneybaran agama Kristen.
Sebagai muslim, saya memahami kekhawatiran tersebut. Saya juga sedih dan menenang adanya pemurtadan. Tetapi hemat saya masalah pemurtadan hendaknya dihadapi engan cara yang proporsional. Bahwa sudah ada aturan hukum yang melarang penyebaran agama terhadap orang yang sudah beragama, saya kira itu perlu dipertegas kembali. Jadi bukan dengan SKB tiga menteri yang membatasi peribadatan uat beragama.
Akhir kata, persoalam toleransi terutama toleransi beragama di Indonesia adalah sesuatu yang sensitif. sehingga perlu dikelola dengan benar. dan untuk ummat Islam, marilah kita manfaatkan bulan suci yang tinggal beberapa hari lai ini dengan meningkakan ketaqwaan kita kepada Allah swt. termasuk juga marikita hormati hak-hak umat lain.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thooriq