Minggu, 08 Maret 2009

Menyoal Fatwa Rokok MUI

Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang berlangsung di Padang Panjang, Sumatera Barat, 23-26 Januari 2009, akhirnya mengeluarkan fatwa terhadap rokok. Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah fatwa tersebut tidak berlaku secara absolut. Keharaman rokok berlaku untuk anak-anak, remaja dan perempuan hamil. Selain itu, merokok di tempat umum juga termasuk kategori pengharaman.
Reaksi pro-kontra terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tersebut terus bermunculan. Dalam alam demokrasi Indonesia seperti saat ini, pro-kontra terhadap suatu permasalahan yang menyeruak di ruang publik merupakan suatu hal yang lumrah. Demokrasi memang memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk dapat berekspresi secara bertanggungjawab dan dalam batas-batas tertentu. Tentu saja sikap penolakan terhadap fatwa MUI tersebut dapat dimaklumi. Hanya saja, -menurut hemat penulis- reaksi kontra terhadap fatwa terbaru dari MUI tersebut banyak yang berangkat dari asumsi-asumsi yang kurang tepat dan dari sudut pandang parsial.
Rokok Ditinjau dari Aspek Kesehatan
Jujur harus diakui bahwa rokok memang merupakan masalah baru yang belum pernah ada di zaman Nabi. Sehingga wajar jika timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilaf) mengenai status hukum barang hisap tersebut. Sebagian ulama berpendapat haram, sebagian lagi makruh bahkan ada yang menghukuminya dengan mubah.
Namun seiring dengan kemajuan sains, para ahli kesehatan sepakat bahwa merokok sangat merugikan kesehatan. Bahaya rokok dari sisi kesehatan sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO tetapi lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 racun kimia berbahaya, 43 bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker) di antaranya hidrogen-sianida, aceton, amonia (pembersih lantai), methanol (bahan bakar roket), butane (pembuat korek api), cadmium (bahan dasar aki mobil). Selain itu disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006) membuktikan perilaku merokok berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS.
Celakanya lagi, dampak negatif dari rokok tidak hanya akan menimpa perokok aktif. Perokok pasif -yakni orang yang bukan perokok tapi menghirup kepulan asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif – juga akan ikut memikul resiko yang sama besarnya dengan resiko yang dialami oleh perokok aktif. Bahkan ada sebuah riset di Indonesia yang menunjukkan bahwa secara kuantitas, penderita penyakit akibat rokok pada perokok pasif lebih besar jumlahnya daripada perokok aktif. Dari sini saja sudah jelas terjadi ketidakadilan dan kedzaliman yang dilakukan oleh para perokok (aktif). Selain itu, hal tersebut juga ditunjang dengan rendahnya budaya malu dan menghargai kepentingan orang lain di tempat umum pada bangsa kita.
Rokok Ditinjau dari Aspek Ekonomi
Salah satu alasan yang sering dikemukakan pihak yang kontra terhadap fatwa MUI tersebut adalah bahwa sekalipun rokok merusak kesehatan, akan tetapi industri rokok telah menunjang perekonomian Indonesia. Sehingga –menurut mereka yang menolak fatwa haram rokok- fatwa MUI tersebut sangat mengancam perekonomian Indonesia. Sebagai contoh adalah di tahun 2004 saja cukai rokok sudah mencapai 27 triliun. Angka ini menyumbang 98% penerimaan cukai negara. Belum lagi jumlah tenaga kerja yang diserap serta jumlah keseluruhan arus perputaran uang yang melingkupi industri rokok.
Akan tetapi, menghitung aspek kemaslahatan rokok hanya dari segi keuntungan ekonomis langsung yang dihasilkan oleh industri rokok, sangat tidak proporsional. Sebagaimana dikemukakan diatas, merokok sangat merugikan kesehatan. Untuk itu perlu juga dihitung biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk Indonesia untuk mengobati penyakit akibat rokok. Tentu saja biaya untuk berobat tersebut jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomis langsung. Hal ini karena dampak kesehatan dari merokok tersebut berlangsung dalam jangka panjang. Selain itu menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada tahun 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year’s (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar US$ 900, total biaya yang hilang US$ 4.870.713.600!
Sergapan asap rokok terhadap pelajar kini makin merisaukan, setidaknya menurut Global Youth Tobacco Survey 2006 versi WHO, 37,3 persen pelajar laki-laki dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5 persen pelajar laki-laki bahkan telah menjadi pecandu rokok.
Urgensi Fatwa MUI
Melarang semua orang untuk tidak merokok sepertinya memang hal yang sulit. Dan MUI sudah dengan sangat bijak mempertimbangkan dampak-dampak yang akan timbul dari fatwa tentang rokok. Sejatinya, usulan agar MUI mengeluarkan fatwa haramnya merokok datang dari pihak-pihak yang selama ini sangat peduli akan bahaya merokok. Salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), melalui ketuanya, Kak Seto yang khawatir terhadap dampak merokok terhadap anak-anak. Untuk itulah –sekali lagi yang perlu diingat semua pihak bahwa- fatwa haram rokok tersebut hanya berlaku untuk anak-anak, remaja, dan perempuan hamil serta merokok di tempat umum dan pengurus MUI sendiri. Ibu hamil diharamkan merokok karena jelas akan mendzalimi anak yang ada dalam janinnya kelak.
Selain kelompok yang diharamkan tersebut, maka hukumnya –menurut fatwa MUI- adalah makruh, bukan halal. Sebagian kalangan ada yang mengkritik MUI dangan beberapa pertanyaan seperti : “Mengapa hanya rokok, yang diberi fatwa? Mengapa MUI tidak mengeluarkan fatwa tentang korupsi misalnya, yang sudah merusak bangsa ini? Selain itu, bukankah makan nasi, kalau berlebihan sehingga membahayakan kesehatan, hukumnya juga haram?” Alasannya sederhana saja. Segala sesuatu yang halal namun dilakukan dengan berlebihan lalu membahayakan diri sendiri maka otomatis hal tersebut hukumnya menjadi haram dan umat sudah paham hal tersebut sehingga tidak membutuhkan fatwa. Sedangkan rokok merupakan masalah baru yang belum ada hukumnya sehingga perlu MUI memberi fatwa sebagai pedoman umat Islam. Masalah-masalah seperti anggota DPR yang menerima uang sogokan atau membolos kerja, itu juga sudah jelas hukumnya dan tidak perlu fatwa lagi. Demikian, wallahu A’lam bish showab.*

Muh Faizin Adi P., Mahasiswa Fak Syariah Jurusan Muamalah IAIN Sunan Ampel Surabaya. KaDept Humas KAMMI Komsat SuPel