Senin, 22 September 2008

Ramadhan dan Refleksi Kerukunan Beragama

Ini adalah posting pertama saya. dikarenakan oleh banyak sebab, diantaranya kemalasan dan ke-gaptek-an saya, blog ini belum pernah saya urusi sejak pertama kali saya membuatnya. Hampir saja saya kena "hukuman" dari si empunya, yakni blogger.com. Kayaknya terancam dihapus. Moga aja gak jadi. hehehe

Saat saya menuliskan risalah ini, bertepatan dengan hari ke 23 dalam bulan Ramadhan. Menyesal sekali tadi malam saya ketiduran sehingga rencana iktikaf jadi gatot alias gagal total. hiks...

Seperti biasa, bulan Ramadhan sebagai bulan suci menjadi bulan yang istimewa bagi sebagian besar ummat Islam di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Orang-orang berbondong-bondong pergi sholat berjamaah ke masjid, terutama pada saat waktu sholat maghrib dan isha'. Mereka bersemangat sekali dengan mengajak seluruh anggota keluarganya untuk sholat berjamaah khsusnya sholat terawih yang spesial hanya ada di bulan Romadhon. Meski sebenarnya tuntunan sholat berjamaah di masjid (atau musholla) sebenarnya sangat penting bagi kaum pria. dalam sebuah hadits disebutkan bahwa malaikat sempat berkeinginan untuk membakar rumah yang kaum prianya mengerjakan sholat fardhu (solat wajib 5 waktu) di rumah, tidak di masjid. Bahkan ada sebuah pendapat dalam salah satu diantara lima madzhab fiqh yang menyatakan tidak sah pria yang mengerjakan sholat tidak di masjid, tapi di rumah. Pada kenyataannya dapat kita lihat bahwa jarang sekali orang laki-laki yang sholat di masjid. Masjid hanya ramai di bulan Ramadhan saja. Tapi tidak apalah, setidaknya kaum muslim tidak melewatkan begitu saja kesempatan beribadah di bulan puasa ini.

Di Indonesia ada banayk tradisi dalam menyambut bulan Ramadhan. Salah satunay adalah tadarus (membaga al-Qur'an) di masjid atau mushalla yang banayk bertebaran hingga ke kampung-kampung. Sesuai perkembangan zaman, maka tadarus juga dilakukan dengan pengeras suara (speaker) yang lazim ada di setiap masjid atau mushalla. Jadilah pada malam hari dibulan Ramadhan, kita akan sering mendengarkan suara lantunan orang mengaji.

Di satu sisi, hal tersebut merupakan sesuatu yang baik. Tujuannya adalah syiar Islam, sehingga dipakai pengeras suara agar bagaan al-Qur'an terdengar di mana-mana. Namun tidakkah kita terpikir bahwa hal tersebut bisa menggangu hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan. terutama bagi orang non muslim yang mungkin mereka akan terganggu oleh bacaan kitab suci dari agama yang tidak dianutnya tersebut.

Tanpa mengurangi tingkat keimanan terhadap agama Islam yang saya yakini kebenarannya, saya rasa kita harus sadar bahwa umat Islam tidak hidup hanya dengan komunitas agamanya sendiri saja. Kita umat Islam, hidup berdampingan dengan umat agama lain yang meski di negeri ini mereka minoritas, tapi tatap harus dihargai. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, bahwa menghormati dan memuliakan tetangga adalah salah satu tolak ukur keIslaman seseorang. Tanpa membedakan agama orang tersebut. Piagam Madinah dan masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah juga dapat menjadi bukti sekaligus pedoman tantang bagaiman Islam sangat menjunjung toleransi dan penghormatan terhadap hak-hak individu.

Kalau kita mau bermuhasabah atau merenung sejenak, dengan jujur mungkin harus kita akui bahwa kita ummat Islam telah banyak "mendzolimi" umat agama lain. Sengaja saya pakai tanda petik ("_") karena iu bukan kata yang saya maksud sebenarnya. Begini, maksud saya. Coba kita pikirkan, di luar bulan ROmadhon saja, dalam setiap harinya setidaknya dikumandangkan panggilan sholat atau adzan. Dan itu tentu menggunakan pengeras suara. Tapi karena sudah terbiasa sehinbgga belum pernah kita dengar ada warga non muslim yang memprotes suara adzan. 

Maksud saya dalam tulisan ini bukan untuk "mengusulkan" agar kumandang adzan tidak usah mengenakan pengeras suara. Karena hal tesebut adalah mustahil. Tapi maksud saya adalah mari kita hargai "pengorbanan" non-muslim tersebut dengan juga menghargai peribadatan mereka.

Di beberap daerah akhir-akhir ini kita sering mendengar aksi warga yang menutup paksa geraja dan atau melarang kegiatan peribadatannya. Alasan warga adalah bahwa gereja tersebut belum mendapat izin resmidari pihak berwenang. Warga muslim tersebut berlindung kepada SKB tiga Menteri, yang isinya mewajibkan izin warga setempat dalam pendirian rumah ibadah. Tapi aku memiliki pendapat berbeda. Menurutku, itu adalah bentuk kekhawatiran yang berlebihan dari umat Islam terhadap kaum kristen. Mereka khawatir jika gereja tersebut digunakan untuk pusat peneybaran agama Kristen. 

Sebagai muslim, saya memahami kekhawatiran tersebut. Saya juga sedih dan menenang adanya pemurtadan. Tetapi hemat saya masalah pemurtadan hendaknya dihadapi engan cara yang proporsional. Bahwa sudah ada aturan hukum yang melarang penyebaran agama terhadap orang yang sudah beragama, saya kira itu perlu dipertegas kembali. Jadi bukan dengan SKB tiga menteri yang membatasi peribadatan uat beragama.

Akhir kata, persoalam toleransi terutama toleransi beragama di Indonesia adalah sesuatu yang sensitif. sehingga perlu dikelola dengan benar. dan untuk ummat Islam, marilah kita manfaatkan bulan suci yang tinggal beberapa hari lai ini dengan meningkakan ketaqwaan kita kepada Allah swt. termasuk juga marikita hormati hak-hak umat lain.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thooriq

Tidak ada komentar: